JPU Tetap Pada Tuntutan 15 Tahun Penjara, Terdakwa Berharap Bebas

Berita Terkini

Ini Dia Pengusaha Muda yang Siap Mendobrak Sektor Pertanian di Banjarnegara

Banjarnegara - Kabupaten Banjarnegara adalah sebuah wilayah yang memiliki potensi besar, namun belum sepenuhnya tergarap. Dengan keunggulan ...

Postingan Populer

Rabu, 01 Maret 2023

JPU Tetap Pada Tuntutan 15 Tahun Penjara, Terdakwa Berharap Bebas


Cirebon, buserpolkrim.com, - Sidang Rudapaksa oknum Polisi di Cirebon memasuki agenda replik atau tanggapan Jaksa Penuntut Umum (JPU) atas pledoi (pembelaan) terdakwa, Selasa (28/2/2023).

Dalam agenda sidang tersebut, JPU tetap pada pendiriannya menuntut terdakwa 15 tahun penjara dan denda 1 milyar subsider 6 bulan penjara.

Humas Kejaksaan Negeri Kabupaten Cirebon, Ivan Yoko Wibowo, yang juga menjabat Kasi Inteljen mengatakan, terkait tuntutan JPU tersebut berdasarkan fakta - fakta dalam persidangan, jaksa tetap pada tuntutan awal yang dibacakan pada Kamis (23/2/2023).

"Saat itu, jaksa mendakwa Briptu CH melanggar Pasal 81 Ayat 3 juncto Pasal 76D Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak," jelasnya. 

Atas perbuatan terdakwa tersebut, lanjut Ivan, Jaksa pun meminta majelis hakim untuk menjatuhkan pidana terhadap terdakwa berupa penjara 15 tahun dan membayar denda Rp 1 miliar subsider 6 bulan penjara dikurangi selama terdakwa ditahan. Adapun terdakwa telah ditahan sejak September 2022.

Dikatakan Ivan, ada dua dugaan tindak pidana pada kasus itu, yang pertama kasus kekerasan fisik dan kekerasan seksual terhadap anak. Yang pertama dilaporkan adalah kekerasan fisik pada 25 Agustus lalu. Kemudian pada 5 September, ibu korban resmi membuat laporan terkait dugaan kekerasan seksual oleh Briptu CH terhadap anaknya.

"Terdakwa sudah melakukan perbuatan yang melanggar undang-undang soal perlindungan anak (UU No 17/2016). Hasil fakta persidangan begitu. Berdasarkan hasil visum juga menunjukkan adanya luka di bagian alat vital korban karena benda tumpul. Itu juga bukti bentuk kekerasan seksual terdakwa terhadap korban," imbuhnya.

Ivan juga menghargai pembelaan terdakwa yang menolak dakwaan kekerasan seksual terhadap korban. Namun, jaksa berkesimpulan akan tetap pada tuntutannya berdasarkan fakta-fakta di persidangan.

"Dalam beberapa yurisprudensi, keterangan anak atau saksi korban kekerasan seksual itu dianggap bukti, kita tentu berharap majelis hakim dapat memvonis terdakwa berdasarkan fakta dalam persidangan dan sesuai dengan dakwaan oleh jaksa penuntut umun," jelasnya.

Sementara itu, penasihat hukum terdakwa, Abdi Mujiono mengatakan, pihaknya meminta kepada majelis hakim untuk membebaskan terdakwa dari segala tuntutan. Menurutnya, berdasarkan fakta persidangan dan saksi a de charge, bahwa terdakwa tidak ada dirumah pada saat kejadian.

"Saat hari kejadian yang dituduhkan, klien kami sedang tidak ada dirumah. Keterangan itu diperkuat oleh kesaksian adcharge. Bahwa klien kami sedang piket dan tidak ada di lokasi kejadian," terangnya.

Sementara terkait adanya tindak kekerasan, Abdi mengaku itu tidak disengaja dilakukan kliennya karena reflek dan faktor kelelahan akibat pulang piket. Ia menganggap berdasarkan pengakuan terdakwa itu sebagai upaya memberikan pelajaran, bentuk kasih sayang orang tua kepada anaknya.

"Terdakwa memang mengakui menampar korban, tapi itu karena kondisi fisik yang kurang sehat, ditambah baru lepas piket, sekaligus memberikan pelajaran kepada anaknya, karena perintahnya untuk memindahkan keranjang baju tidak dilaksanakan," terangnya.

Terkait tuntutan JPU, Abdi mengaku sangat keberatan. Karena menurutnya berdasarkan fakta persidangan, terdakwa mengaku tidak melakukan tuduhan tersebut. Bahkan berdasarkan fakta di persidangan, keterangan saksi, saksi ahli dan bukti, indikasinya tidak seperti yang dituduhkan. 

"Tentu kami merasa keberatan. Bukti visum memang ada dua. Kalau dari saksi ahli yang dari RS Ciremai yang tidak sempat hadir di persidangan, dalam BAP menerangkan, angka jam 5 itu bisa jadi tanda lahir, belum tentu karena kekerasan seksual," paparnya.

Sementara terkait bukti pakaian korban terkait kasus kekerasan seksual, penasihat hukum terdakwa mengaku tidak pernah ditunjukan barang bukti tersebut oleh jaksa. Ia menyayangkan jaksa tidak menunjukan pakaian korban ataupun pakaian dalam korban dalam persidangan.

"Harusnya jaksa bisa membuktikan terkait dugaan kekerasan seksualnya. Visumnya ini kan dilakukan dua minggu setelah dilaporkan. Apalagi ada tuduhan dilakukan pagi hari sebelum berangkat sekolah. Jaksa mestinya harus bisa membuktikan itu. Karena itu tugas jaksa," pungkasnya. 

Arsy Al Banzary | Buserpolkrim.com

0 comments:

Posting Komentar

Hanya pesan membangun