Jakarta : Power Wheeling, sebuah konsep yang telah lama dikenal
dalam struktur liberalisasi pasar ketenagalistrikan, kini menjadi sorotan tajam dalam perdebatan kebijakan energi Indonesia.
Skema yang menciptakan mekanisme Multi
Buyer Multi Seller (MBMS) ini memungkinkan pihak swasta dan negara untuk menjual energi listrik di pasar terbuka atau langsung ke konsumen akhir. Power Wheeling terdiri dari dua jenis transaksi, yakni Wholesale Wheeling dan Retail Wheeling.
Ketua Umum Serikat Pekerja (SP) PT PLN (Persero) M Abrar Ali menjelaskan, Wholesale Wheeling terjadi ketika pembangkit listrik (baik milik swasta maupun negara) menjual energi listrik dalam jumlah besar ke perusahaan listrik atau konsumen di luar
wilayah usahanya.
Sementara itu, kata Abrar, Retail Wheeling memungkinkan pembangkit listrik
menjual energi listrik langsung ke konsumen akhir di luar wilayah operasinya.
"Kedua model ini menggunakan jaringan transmisi dan distribusi sebagai "jalan tol" dengan skema open access, di mana semua pembangkit listrik dapat menggunakannya dengan membayar Toll Fee," tegas Abrar dalam keterangan persnya di Jakarta, Senin (9/9/2024)
Namun, lanjutnya, penerapan Power Wheeling dipandang dapat menimbulkan dampak negatif
signifikan, baik dari segi keuangan, hukum, teknis, maupun ketahanan energi.
Berikut penjelasan Abrar terkait analisis dampak Power Wheeling berdasarkan berbagai perspektif.
Dampak Keuangan:
1. Penurunan Permintaan Organik dan Non-Organik:
Power Wheeling dapat menggerus permintaan listrik organik hingga 30% dan
permintaan non-organik dari pelanggan Konsumen Tegangan Tinggi (KTT) hingga 50%. Hal ini akan berujung pada lonjakan beban APBN karena biaya yang harus ditanggung negara.
2. Beban Keuangan Negara:
Setiap 1 GW pembangkit listrik yang masuk melalui skema Power Wheeling
diperkirakan akan menambah beban biaya hingga Rp3,44 triliun (biaya ToP + Backup
cost), yang akan semakin memberatkan keuangan negara. Dampak akumulatif hingga
2030 diperkirakan akan meningkatkan beban Take or Pay (ToP) dari Rp317 triliun
menjadi Rp429 triliun, atau terjadi kenaikan sebesar Rp112 triliun.
Dampak Hukum:
1. Kontradiksi dengan UU No. 20 Tahun 2022:
Power Wheeling merupakan implementasi dari skema MBMS yang melibatkan
unbundling. Namun, hal ini bertentangan dengan UU No. 20 Tahun 2022 yang telah
dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi pada tahun 2004.
2. Mereduksi Peran Negara:
Skema ini juga akan menciptakan kompetisi di pasar penyediaan tenaga listrik untuk
kepentingan umum, yang berpotensi mengurangi peran negara dalam menjaga kepentingan umum di sektor ketenagalistrikan.
3. Potensi Sengketa:
Power Wheeling dapat memicu perselisihan terkait harga, losses, frekuensi, dan volume yang dapat berdampak pada terhentinya pasokan listrik (blackout) dan
merugikan masyarakat luas.
Dampak Teknis:
1. Memperparah Oversupply:
Saat ini, sistem ketenagalistrikan di Jawa dan Bali telah mengalami oversupply.
Penerapan Power Wheeling berpotensi memperburuk kondisi ini, terutama karena
pembangkit yang menggunakan energi baru terbarukan (EBT) bersifat intermiten dan
tidak stabil.
2. Meningkatkan Risiko Blackout:
Power Wheeling yang bersumber dari EBT memerlukan spinning reserve tambahan
untuk menjaga keandalan sistem, yang justru akan meningkatkan Biaya Pokok Produksi
(BPP) dan harga jual listrik kepada konsumen.
Dampak Terhadap Ketahanan Energi:
1. Ketersediaan Akses Listrik:
Dengan meningkatnya risiko blackout, jaminan pasokan listrik yang stabil semakin sulit dicapai. Hal ini dapat menghambat akses terhadap listrik yang andal bagi masyarakat.
2. Harga Listrik yang Tidak Terjangkau:
Penambahan beban akibat skema ToP dan investasi untuk spinning reserve akan
meningkatkan BPP, yang pada akhirnya membuat harga listrik melonjak dan membebani konsumen serta BUMN.
3. Emisi Rendah:
Dengan prioritas Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030 pada pembangunan pembangkit EBT sebesar 51,6%, tidak ada urgensi untuk menerapkan Power Wheeling. Hal ini sesuai dengan rencana Net Zero Emission 2060 tanpa menambah risiko dari berbagai aspek.
"Konsep Power Wheeling dikhawatirkan akan digunakan dalam skema liberalisasi
penyediaan listrik untuk kepentingan umum, yang pada akhirnya berpotensi melanggar Pasal 33 ayat (2) UUD 1945, di mana cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara," paparnya.
Kata Abrar, latar Belakang Legal Power Wheeling dan Privatisasi Energi,
Power Wheeling berakar pada pola unbundling, yang sebelumnya diatur dalam UU No. 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan. Namun, Mahkamah Konstitusi (MK) telah membatalkan konsep unbundling ini melalui Putusan MK Nomor 111/PUU-XIII/2015, karena dianggap bertentangan dengan peran negara dalam sektor kelistrikan.
Menurutnya, kemunculan kembali skema Power Wheeling dalam Rancangan Undang-Undang Energi
Baru Terbarukan (RUU EBT) dipandang sebagai upaya liberalisasi yang melanggar konstitusi, yang dapat mengurangi kontrol negara atas sektor strategis ini.
Selain itu, dikatakan Abrar, terdapat indikasi adanya upaya privatisasi besar-besaran di sektor kelistrikan melalui pasal-pasal tertentu dalam RUU EBT.
"Privatisasi ini memungkinkan peran swasta lebih dominan dalam penyediaan energi terbarukan, meskipun tujuan awal dari RUU tersebut adalah untuk mendorong transisi energi menuju netral karbon pada tahun 2060. Liberalisasi ini dapat mereduksi peran negara dan berpotensi membahayakan ketahanan energi nasional," sebutnya.
Studi Kasus Filipina: Pelajaran dari Privatisasi dan Power Wheeling
Filipina telah lebih dahulu menerapkan skema Power Wheeling dan privatisasi sektor ketenagalistrikan melalui Electric Power Industry Reform Act (Epira) pada tahun 2001.
Pengalaman Filipina ini dapat menjadi pelajaran bagi Indonesia dalam merumuskan kebijakan Power Wheeling. Berikut beberapa tantangan yang dialami Filipina yang perlu diperhatikan dalam konteks Indonesia.
1. Kenaikan Harga Listrik:
Sejak penerapan skema Power Wheeling di Filipina, harga listrik mengalami kenaikan
sebesar 55%. Jika hal ini terjadi di Indonesia, masyarakat, terutama golongan ekonomi lemah, akan menghadapi beban finansial yang berat, terutama jika harga listrik ditentukan berdasarkan mekanisme pasar.
2. Potensi Terbentuknya Kartel:
Power Wheeling memungkinkan produsen listrik swasta menjual langsung ke
konsumen dan menetapkan harga sesuai dengan dinamika pasar. Hal ini membuka
peluang bagi pembentukan kartel yang dapat memonopoli harga dan mengurangi
persaingan sehat di sektor ketenagalistrikan.
3. Keberlanjutan Pasokan Listrik:
Filipina menghadapi krisis energi dan sering mengalami pemadaman listrik setelah privatisasi sektor kelistrikan. Tantangan serupa bisa terjadi di Indonesia jika pasokan listrik tidak dijaga dengan baik, dan intermitensi dari pembangkit energi baru terbarukan dapat mengganggu keandalan sistem.
4. Beban APBN:
Di Indonesia, Power Wheeling berpotensi menambah beban APBN secara signifikan.
Skema ini diperkirakan akan menggerus permintaan pelanggan organik PLN hingga 30%
dan non-organik hingga 50%. Akibatnya, biaya produksi listrik naik, sementara
pemerintah harus menanggung kompensasi besar untuk menjaga tarif listrik tetap
terjangkau.
Tantangan-Tantangan Lain yang Dihadapi Indonesia:
Selain belajar dari pengalaman Filipina, Indonesia perlu menghadapi beberapa
tantangan utama dalam implementasi Power Wheeling, termasuk:
1. Regulasi yang Mendukung:
Diperlukan kerangka hukum yang jelas dan tegas untuk memastikan kepastian hukum
dalam hubungan antara PLN, produsen listrik swasta, dan konsumen. Regulasi yang
tepat juga diperlukan untuk menghindari potensi pembentukan kartel di sektor ketenagalistrikan
2. Keberlanjutan Investasi:
Power Wheeling membutuhkan investasi besar dalam pengembangan infrastruktur
ketenagalistrikan. Pemerintah harus memastikan adanya kepastian investasi yang cukup untuk mendorong minat produsen listrik swasta dalam berinvestasi.
3. Beban Subsidi Listrik:
Dengan skema Power Wheeling, tarif listrik akan ditentukan oleh hukum permintaan
dan penawaran (demand and supply). Ketika permintaan tinggi dan pasokan tetap, tarif listrik pasti naik, yang berakibat pada kenaikan subsidi listrik yang harus ditanggung
oleh APBN.
4. Keberlanjutan Pasokan:
PLN harus menanggung beban tambahan dari spinning reserve dan intermitensi
pembangkit energi baru terbarukan. Ini akan mempengaruhi biaya pokok produksi (BPP) listrik, yang dapat berujung pada kenaikan tarif listrik untuk konsumen atau peningkatan subsidi dari APBN.
"Penerapan Power Wheeling justru dapat merugikan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), APBN, dan konsumen secara akumulatif. Oleh karena itu, Power Wheeling dinilai lebih
sebagai "benalu" dalam transisi energi, yang berpotensi menimbulkan kerugian ekonomi
jangka panjang bagi negara," tegas Abrar.
Dengan memperhatikan berbagai perspektif ini, sambungnya, kebijakan Power Wheeling sebaiknya ditinjau kembali agar dampak negatif yang mungkin timbul dapat diminimalisir, demi menjaga kestabilan dan ketahanan energi nasional serta melindungi kepentingan ekonomi negara dan masyarakat.
((Nurbaeti))
0 comments:
Posting Komentar
Hanya pesan membangun